Kode
Perilaku Korporasi (Corporate Code of Conduct)
Kode
perilaku korporasi (Corporate Code of
Conduct) merupakan pedoman yang dimiliki setiap perusahaan dalam
memberikan batasan-batasan bagi setiap karyawannya untuk menetapkan etika dalam
perusahaan tersebut. Kode perilaku korporasi yang dimiliki suatu
perusahaan berbeda dengan perusahaan lainnya, karena setiap perusahaan memiliki
kebijakan yang berbeda dalam menjalankan usahanya. Di dalam Perilaku
korporatif, peran pemimpin sangat penting, antara lain, sebagaiFirst Adapter,
penerima dan pelaksana pertama dari budaya kerja, Motivator, untuk mendorong insan
organisasi/korporasi melaksanakan budaya kerja secara konsisten dan konsekuen,Role Model,
teladan bagi insan korporasi terhadap pelaksanaan Budaya Kerja, dan Pencetus dan Pengelola Strategi, dan
program budaya kerja sesuai kebutuhan korporasi.
Kode
perilaku korporasi (Corporate Code of
Conduct) juga dapat diartikan sebagai pedoman internal perusahaan yang
berisikan Sistem Nilai, Etika Bisnis, Etika Kerja, Komitmen, serta penegakan
terhadap peraturan-peraturan perusahaan bagi individu dalam menjalankan bisnis,
dan aktivitas lainnya serta berinteraksi dengan stakeholders.
Pengelolaan
perusahaan tidak dapat dilepaskan dari aturan-aturan main yang selalu harus
diterima dalam pergaulan sosial, baik aturan hukum maupun aturan moral atau
etika. Corporate Code of Conduct merupakan
pedoman bagi seluruh pelaku bisnis dalam bersikap dan berperilaku untuk
melaksanakan tugas sehari-hari dalam berinteraksi dengan rekan sekerja, mitra
usaha dan pihak-pihak lainnya yang berkepentingan.
Pembentukan
citra yang baik terkait erat dengan perilaku perusahaan dalam berinteraksi atau
berhubungan dengan parastakeholder. Perilaku
perusahaan secara nyata tercermin pada perilaku pelaku bisnisnya. Dalam
mengatur perilaku inilah, perusahaan perlu menyatakan secara tertulis
nilai-nilai etika yang menjadi kebijakan dan standar perilaku yang diharapkan
atau bahkan diwajibkan bagi setiap pelaku bisnisnya. Pernyataan dan
pengkomunukasian nilai-nilai tersebut dituangkan dalamCorporate Code of Conduct.
Evaluasi
Terhadap Kode Perilaku Korporasi
Evaluasi terhadap kode perilaku korporasi dapat dilakukan
dengan melakukan evaluasi tahap awal (Diagnostic Assessment) dan penyusunan
pedoman-pedoman. Pedoman Good Corporate Governance disusun dengan bimbingan
dari Tim BPKP dan telah diresmikan pada tanggal 30 Mei 2005. Evaluasi sebaiknya
dilakukan secara rutin sehingga perusahaan selalu berada dalam pedoman dan
melakukan koreksi apabila diketahui terdapat kesalahan.
Contoh Kasus :
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
mengakui adanya dugaan pelanggaran UU No.5/1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat oleh PT PLN (Persero) apabila BUMN
sektor listrik itu meneruskan kebijakan capping untuk TDL sektor industri. KPPU
akan mengkaji sesuai dengan prosedur lewat pemeriksaan selanjutnya. Kemungkinan
pasal yang akan dikaji KPPU ialah pasal 19d di dalam Undang-Undang Nomor 5/1999
yang mengatur masalah diskriminasi terkait penerapan tarif terhadap para pelaku
industri.Untuk itu, KPPU akan segera menelisik data-data PLN untuk melihat
siapa saja pelanggan industri yang menikmati capping dengan yang tidak.
Sementara ini, KPPU mengakui pada 2010 memang terdapat perbedaan tarif untuk
golongan-golongan industri. KPPU akan memanggil pihak yang selama ini
diuntungkan dengan tarif lebih rendah atau yang iri terhadap perbedaan harga
karena mereka dikenakan beban yang lebih tinggi dibanding yang lain. Selain
itu, mereka juga akan memanggil Pemerintah dan Kementerian Keuangan dan Dirjen
Listrik Kementerian ESDM untuk meminta pandangan dari mereka dan akan
membuktikan di lapangan misal cek kuitansi supaya ada fakta dan data hukum tidak
hanya data statistik.
Fungsi PT. PLN sebagai pembangkit,
distribusi, dan transmisi listrik sebenarnya sudah mulai dipecah. Swasta
diizinkan berpartisipasi dalam upaya pembangkitan tenaga listrik. Sementara
untuk distribusi dan transmisi tetap ditangani PT. PLN. Saat ini telah ada 27
Independent Power Producer di Indonesia. Mereka termasuk Siemens, General
Electric, Enron, Mitsubishi, Californian Energy, Edison Mission Energy, Mitsui
& Co, Black & Veath Internasional, Duke Energy, Hoppwell Holding, dan
masih banyak lagi. Tetapi dalam menentukan harga listrik yang harus dibayar
masyarakat tetap ditentukan oleh PT. PLN sendiri.
Krisis listrik kemudian juga memuncak saat
PT. Perusahaan Listrik Negara (PT. PLN) memberlakukan pemadaman listrik secara
bergiliran di berbagai wilayah termasuk Jakarta dan sekitarnya, selama periode
11-25 Juli 2008. Hal ini diperparah oleh pengalihan jam operasional kerja
industri ke hari Sabtu dan Minggu, sekali sebulan. Semua industri di Jawa-Bali
wajib menaati, dan sanksi bakal dikenakan bagi industri yang membandel. Dengan
alasan klasik, PLN berdalih pemadaman dilakukan akibat defisit daya listrik
yang semakin parah karena adanya gangguan pasokan batubara pembangkit utama di
sistem kelistrikan Jawa-Bali, yaitu di pembangkit Tanjung Jati, Paiton Unit 1
dan 2, serta Cilacap. Namun, di saat yang bersamaan terjadi juga permasalahan
serupa untuk pembangkit berbahan bakar minyak (BBM) PLTGU Muara Tawar dan PLTGU
Muara Karang.
Akibat dari PT. PLN yang memonopoli
kelistrikan nasional, kebutuhan listrik masyarakat sangat bergantung pada PT.
PLN, tetapi mereka sendiri tidak mampu secara merata dan adil memenuhi
kebutuhan listrik masyarakat. Banyak daerah-daerah yang kebutuhan listriknya
belum terpenuhi dan juga sering terjadi pemadaman listrik secara sepihak.
Kejadian ini menyebabkan kerugian yang tidak sedikit bagi masyarakat, dan
investor menjadi enggan untuk berinvestasi.
Analisis :
Berdasarkan
contoh kasus diatas bisa disimpulkan bahwa telah terjadi penyimpangan dari
metode Good Corporate Governance. PLN selaku perusahaan listrik negara tidak
memiliki tanggung jawab (Responsibility) yang baik kepada masyarakat selaku
pengguna jasanya. Sehingga masyarakat merasa dirugikan dengan terjadinya krisis
listrik yang disebabkan oleh adanya gangguan pasokan batubara pembangkit utama
di sistem kelistrikan Jawa-Bali dan disaat yang bersamaan terjadi juga masalah
untuk pembangkit berbahan bakar minyak PLTGU Muara Tawar dan PLTGU Muara
Karang. Apalagi dalam kasus ini PLN diduga melakukan pelanggaran ’’Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat’’ serta adanya
diskriminasi terkait penerapan tarif.
Daftar Pustaka:
http://githaceria888.blogspot.co.id/2015/10/etika-governance.html
https://herikurniawan19.wordpress.com/2014/01/04/tugas-3-etika-governance/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar