Senin, 04 Januari 2016

Perusahaan Di Indonesia Yang Mengalami Manajemen Krisis Karena Bencana Alam

Krisis besar ini telah terjadi selama 4 tahun, tepatnya sejak 29 Mei 2006. Pertama kali semburannya kecil dan orang tidak menyangka akan bertambah besar. Volume semburan kian besar, hingga mencapai 1700 ribu meter3. Berita terakhir, volume lumpur dilaporkan berkurang drastis hingga mencapai 70 ribu metersetiap hari(Hertanto, 2010). Banyak orang menjadi saksi munculnya danau lumpur yang sangat luas (sekitar 640-an hektar) di Tanggulangin dan Porong, Sidoarjo. Sekitar 12 desa jadi korban, akibatnya 60 ribu orang terpaksa meninggalkan desanya. Tercatat 14 orang meninggal dunia (Hutapea, 2010). Benar-benar extraordinary event.
            Hingga kini, krisis ini belum benar-benar bisa diatasi, bukan hanya persoalan teknis mengatasi semburan lumpur, tapi juga persoalan ekonomi, psikologi dan sosial para korban. Makalah ini menyorot bagaimana manajemen krisis yang dilakukan Lapindo dan pemerintah selama banjir lumpur ini. Makalah fokus pada strategi komunikasi dalam krisis manajemen tersebut, sehingga bahasan tentang peran public relations menjadi hal yang penting (baca juga Culbertson, Jeffers, Stone, & Terrell, 1993 tentang peran PR dalam issue & crisis management). Beberapa teori dijadikan pisau analisis untuk melengkapi pengalaman langsung penulis di lapangan dan wawancara dengan beberapa korban dari perumtas, kedungbendo, Siring, dan Jatirejo antara November 2009-Maret 2010.
Manajemen Krisis yang tidak efektif
Penulis mengategorikan krisis lumpur ini sebagai acute crisis. Peristiwa ini menimbulkan tingginya tingkat ketidakpastian dan ancaman (Seeger, Sellow & Ulmer, 1998, cited in Smudde, 2001); mendorong conflict of interest (Burnett, 1998); menyebabkan kerusakan fisik dan non-fisik yang mencakup keseluruhan sistem sosial(Kouzmin, 2008); dan menimbulkan kemarahan publik (public outrage(Miller, 1999).
Ini terjadi karena manajemen krisis berlangsung tidak efektif. Ada beberapa alasan mengapa penulis menyebut manajemen krisis yang tidak efektif. Pertama, manajemen krisis yang lambat. Upaya sistematik menhandle persoalan baru tampak setelah 3 bulan lumpur menyembur dan menenggelamkan beberapa desa, yaitu dengan adanya perpres 13/2006 tentang pembentukan Tim Nasional Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (Timnas PLS), yang disusul dengan perpres-perpres yang lain. Persoalan sosial yang diatur dalam aturan-aturan tersebut baru dijalankan setelah korban berdemonstrasi beberapa kali, dan dalam perjalanannya pun beberapa kali tidak dipatuhi, seperti molornya jadwal pemberian kompensasi 80% dan pembayarannya pun tidak cash tapi dicicil. Sebelum menerima uang kontrak dan jatah hidup, para korban berada dalam kondisi ketidakpastian (uncertain fate) selama berbbulan-bulan.
Bagi korban, yang mereka tunggu adalah kepastian pemberian ganti rugi. Mereka sangat menderita ketika menunggu tanpa kepastian, meskipun telah diberi bantuan uang sewa rumah maupun uang jatah hidup. Bahkan sekarang pun, ketika pemberian ganti rugi diberikan secara mencicil, masih belum menghilangkan persoalan ketidakpastian ini. Misalnya, ada korban warga Siring yang nilai tanah dan bangunannya sebesar Rp 2 milyar, menurut skema cicilan, 80% nya akan lunas dalam waktu 10 tahun. Apakah ada jaminan, pembayaran akan tetap lancar, apakah ada jaminan kepastian hukum, karena kita tidak tahu perubahan-perubahan selama masa itu, mungkin ada perubahan kebijakan karena perubahan kekuasaan.
Kedua, krisis manajemen gagal mengurangi ketidakpastian (uncertainty reduction). Dari pengalaman di lapangan dan wawancara dengan beberapa korban, masalah mendasar yang dialami para korban lumpur adalah ketertutupan informasi. Ini menimbulkan ketidakpastian (uncertaninty) pada korban. Mereka merasa Lapindo dan pemerintah kurang memberikan informasi yang jelas tentang apa yang terjadi, misalnya, mereka bingung rumahnya akan kena lumpur atau tidak, evakuasi barang atau nggak, trus biayanya dari mana, tidak ada social warning kepada korban atau informasi tentang apa yang seharusnya dilakukan warga. Padahal setiap krisis pasti memunculkan lack of information atau krisis informasi, yang memunculkan ketidakpastian. Semakin tidak pasti situasi, seseorang semakin membutuhkan informasi (Teori Uncertainty Reduction). Kekurangan informasi inilah yang menyebabkan meningkatnya perasaan was-was dan curiga pada diri korban. Dalam konteks ini, Lapindo dan pemerintah telah gagal menyediakan informasi yang akurat dan tepat waktu. Kegagalan dalam menyediakan dan mengontrol arus informasi adalah kegagalan terbesar dalam upaya menghandle krisis(Duke & Masland, 2002), terbukti telah membuat krisis lumpur semakin parah.
Kurangnya sosialisasi dan informasi yang dibutuhkan juga menimbulkan kurang efektifnya beberapa program sosial yang disampaikan. Program-program pelatihan maupun bantuan UKM kurang merakyat, karena banyak korban yang tidak mendapatkan sosialisasi akan program tersebut. Seperti disampaikan informan 1 dari Desa Siring: “Nggak ada informasi sebelum atau sesudah lumpur nyembur. Kita biasanya cari informasi dari Pak Lurah atau RT. Kita selalu yang aktif cari informasi. Lapindo kalau nggak digetaknggak gerak. Kita mesti demo. Informasi yang diberikan ya hanya soal ganti rugi.” 
Ketiga, fokus pada reputasi korporat. Manajemen krisis yang dijalankan lebih sebagai upaya menjaga reputasi. Beberapa bukti menunjukkan, misalnya, para korban hidup di pengungsian tanpa kepastian selama berbulan-bulan, sementara perusahaan tampak sibuk memframe dan memengaruhi frame publik. Hal ini nampak dari berbagai strategi komunikasi yang dilakukan Lapindo (baik melalui presentasi-presentasi seminar, interview dengan wartawan, iklan-iklan di media atau di publikasi-publikasi, seperti buku dan newsletter) yang lebih fokus pada konstruksi frame bahwa peristiwa ini disebakan oleh gempa Jogja. Dengan kata lain, ini bukan lumpur Lapindo, tapi lumpur Sidoarjo.Key- message yang disampaikan hanya satu, yaitu lumpur disebabkan gempa. Sejak minggu-minggu pertama, lumpur menyembur key-message ini sudah dikampayekan. Yang terjadi adalah politik pencitraan. Akibatnya, nasib korban terabaikan.
Strategi komunikasi yang responsif bukan proaktif
Kenyataan di lapangan, Lapindo dan pemerintah baru memberikan informasi setelah digoyang demo. Artinya, tidak ada upaya proaktif menyediakan informasi. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah mereka mempunyai manajemen komunikasi? Mengapa? Karena manajemen komunikasi seharusnya merupakan upaya terencana dan sistematik dalam menyediakan informasi yang akurat, fairnessopenness, efisien, dan menjamin adanya partisipasi publik. Sementara dalam krisis lumpur ini, proses komunikasi yang terjadi lebih bersifat incidental communication, merespon kalau ada reaksi Tampaknya, baik PR Lapindo atau pemerintah menerapkan silent strategy, lebih hati-hati dan bersifat hanya memberi respon.   
Penulis melihat bahwa dalam proses informasi, pendekatan yang digunakan lebih pada pendekatan strategik (strategic approach(baca juga Leitch & Neilson, 1997). Artinya, korban dianggap entitas yang pasif, hanya boleh menunggu pesan-pesan dari perusahaan. Padahal seharusnya mereka dianggap sebagai entitas yang aktif dan equaldengan perusahaan. Selama ini, korban diarahkan hanya untuk menikmati konstruksi manajemen tentang apa yang terjadi, seperti konstruksi bahwa Lapindo adalah korban juga, konstruksi tentang para korban yang kehidupannya lebih baik, atau konstruksi tentang penyebab semburan dan konstruksi tentang sifat empati Lapindo terhadap korban. Pendekatan ini mesti diubah, apalagi, berdasarkan Teori Situational of the Public-nya James Grunig (1979), fakta di lapangan membuktikan bahwa para korban adalah publik yang aktif, yang menyadari bahwa ada sesuatu yang  tidak beres dari permasalahan yang dihadapinya (Problem recognition), tetapi di sisi lain korban mempersepsi ada kendala-kendala komunikasi ketika korban ingin mendapatkan informasi (constraint recognition). Kendala komunikasi ini, antara lain mencakup adanya limitasi ideologi yang mempengaruhi konstruksi korban atas realita

Fokus pada korban: prinsip pertama manajemen krisis
            Pertanyaannya, mengapa ketiga faktor ketidakefektifan manajemen krisis terjadi? Ini pertanyaan yang rumit dicari jawabannya. Banyak kepentingan turut bermain, politik maupun ekonomi. Banyak penulis yang mencoba memberi asumsi-asumsi tentang adanya hubungan khusus antara kekuasaan dan bisnisman serta para aktor yang berperan dalam krisis ini (Akbar, 2007; Santoso, 2007; Schiller, Lucas, & Sulistiyanto, 2008; Utomo, 2009). Tetapi, dari pengamatan lapangan, penulis menyimpulkan karena manajemen krisis yang dilakukan tidak mendasarkan pada prinsip: selamatkan publik, reputasi otomatis menyusul ! (save the public, the reputation automatically involved)
            Teori Situational Crisis Communication (SCC) menekankan bahwa manajemen krisis mesti menjadikan keselamatan publik sebagai prioritas nomor satu daripada fokus pada menjaga reputasi (Coombs, 2007). Artinya, harus ada upaya-upaya melindungi publik (dalam hal ini korban) dari ancaman kerusakan sosial, fisik maupun psikologi. Jika tidak, maka kredibilitas dan reputasi perusahaan akan jatuh.
Dalam perspektif manajemen krisis, reputasi perusahaan sangat ditentukan oleh tiga faktor persepsi publik: crisis responsibilitycrisis history, dan prior reputational reputationCrisis responsibility adalah atribusi publik tentang penyebab krisis dan siapa aktor yang mesti bertanggung jawab. Dari wawancara langsung dengan beberapa korban, dapat disampaikan bahwa semua korban mempunyai atribusi bahwa krisis lumpur di Sidoarjo adalah termasuk intentional cluster, artinya Lapindo dipersepsi sebagai penyebab lumpur menyembur dan karenanya harus bertanggung jawab. Atribusi ini disampaikan korban yang telah menerima ganti rugi atau yang belum menerima. Bahkan semua korban yang diwawancarai tetap memberi atribut Lumpur Lapindo, walaupun jika mereka menerima 100% ganti rugi. Misalnya, informan 4 dari Desa Jatirejo mengatakan: “Saya yakin penyebabnya pengeboran, walau pengadilan mutuskan nggak salah. Wong lokasinya saja di dekat pemukiman penduduk yang padat”.
Crisis history adalah persepsi publik bahwa perusahaan pernah mengalami kasus yang sama di masa lalu, baik mencakup jenis krisisnya atau pun adanya kesamaan penanganan. Dari sisi ini, timbul krisis kepercayaan dari para korban terhadap langkah-langkah yang ditempuh Lapindo dan pemerintah, misalnya apakah skema cicilan akan lancar atau tidak. Karena dari pengalaman sebelumnya, mereka merasakan bahwa aturan2 atau kesepakatansering tidak dijalankan. Informan 5 dari Perumtas mengatakan: “Lapindo punya tanggung jawab, ngasih kita uang kontrak dan jatah hidup. Tapi, seringnggak nepati janji, kayak ganti rugi nggak jelas, trus katanya cash tapi dicicil-cicil.”
Prior relational reputation adalah atribusi publik tentang seberapa baik tingkat perhatian perusahaan terhadap publik. Sebagian informan mengatakan bahwa mereka bahagia mendapat uang ganti rugi yang besar. Seperti yang dikatakan informan 3 dari Desa Siring: “Perlakuannya cukup baik, ukurannya ya jika mereka ngasih ganti rugi lancar.” Walaupun beberapa korban dari Desa Siring mengaku mempunyai kehidupan yang lebih baik setelah menerima ganti rugi, tapi mereka merasa perusahaan tidak memperlakukan mereka dengan baik. Alasannya, pemberian ganti rugi itu merupakan hal yang wajar dan wajib diberikan; mereka telah hidup susah menunggu tanpa kepastian cukup lama; dan ganti rugi uang tidak dapat mengembalikan kehidupan sosial budaya sebelumnya. Jadi, dapat disimpulkan, kecenderungan negatifnya atribusi korban terhadap tiga faktor di atas disebabkan lambannya penanganan dampak sosial kasus ini.
Lebih lanjut, penulis sampaikan asumsi dasar teori SCC menyatakan:
It would be irresponsible to begin crisis communication by focusing on the organization’s reputation. To be ethical, crisis managers must begin their efforts by using communication to address the physical and psychological concerns of the community. It is only after this foundation is established that crisis managers should turn their attentions to reputational assets (Coombs, 2007, p. 165) [emphasis added]

            Dari asumsi dasar Teori SCC di atas, strategi komunikasi dalam krisis manajemen, baik yang secara langsung dilakukan oleh departemen public relations atau departemen lain, baru bisa disebut etis dan bertanggung jawab jika menomorsatukan kepentingan publik. Ketertutupan informasi dan kendala-kendala komunikasi di atas harusnya dihindari.
Di sinilah peran serta Public Relations officers untuk melaksanakan fungsiboundary-spanning. Melalui fungsi ini PR menjadi fasilitator komunikasi, satu kaki di pihak manajemen, kaki lainnya di pihak publik. Dia memonitor lingkungannya sehingga mengetahui apa yang terjadi dan menginterpretasi isu-isu yang potensial memengaruhi aktivitas perusahaan dan membantu manajemen merespon isu-isu tersebut melalui aktivitas issue management. Di sini praktisi Public relations bertindak sebagai mitra manajemen untuk mengidentifikasi dan memecahkan permasalahan yang mungkin muncul serta membangun komunikasi dua arah dengan publik. Artinya, manajemen komunikasi mestinya terencana dan kontinyu, bukan hanya responsif saja.
Tentu saja, Public Relations sebagai aktivitas komunikasi sangat dipengaruhi oleh dasar-dasar filosofis sistem yang lebih besar. Akhirnya, berpulang pada masalah tanggung jawab etis Public Relations dalam melaksanakan fungsinya. Logis jika strategi komunikasi diarahkan untuk mengonstruksi frame tertentu. Tetapi, crisis communication seharusnya didasarkan pada upaya menerima beragam cara pandang daripada sekedar memperjuangkan satu ideology tertentu.
 Selama krisis lumpur ini, dapat dikatakan bahwa setiap individu mempunyai konstruksi frame masing-masing. Konstruksi ini dipengaruhi oleh pengalaman dan informasi tentang peristiwa ini. Pada akhirnya, frame tersebut akan mengarahkan respon atau reaksi individu terhadap krisis lumpur ini. Di sinilah, Public relations officers Lapindo berperan penting membentuk frame publik dengan cara  memberi information tertentu, melalui beragam publikasi (misalnya newsletter), press-release yang dimuat media atau membeli time dan space media (beriklan, baik iklan spot ataupun advertorial). 
Selama 4 tahun, berbagai konflik terjadi antara Lapindo, pemerintah, dan korban. Dalam pendekatan kritis, sebenarnya hal ini wajar. Untuk menghadapinya, negara seharusnya memberikan peluang bagi semua pandangan untuk didengarkan, sehingga dominasi ideologi dari satu kelompok yang lebih kuat (secara politis dan ekonomi) dapat dihindari (lihat juga Littlejohn & Foss, 2008). Selama krisis, kondisi ideal tersebut belum dicapai. Para korban mengalami penekanan -tidak mempunyai kekuatan menawar- oleh kelompok yang lebih kuat, sehingga para korban mesti berontak dahulu untuk mendapatkan haknya. Situasi ini terjadi, mengadopsi Marxism, karena upaya-upaya mengatasi krisis lumpur lebih bersifat economical-profit oriented. Pada konteks ini, para korban tidak mempunyai banyak kesempatan akses mengetahui dan menerima hak-haknya. Ini terjadi bahkan sejak sebelum adanya kasus lumpur ini.
sumber : http://rachmat-ub.blogspot.co.id/2011/02/manajemen-komunikasi-krisis-lumpur.html

1 komentar:

  1. artikel yang menarik, terimakasih sudah sharing, silahkan kunjungi Visit Us

    BalasHapus